Bukan soal kesibukan namun kepedulian

"Thank God you sent this person into my life" Kalimat di atas nampak lebay namun benar adanya bahwa di luar sana ada orang-orang yang bersyukur dengan kehadiran kita dalam hidup mereka. Bukan soal waktu namun soal kepedulian. Tidak sedikit orang yang menyempatkan diri untuk membantu meringankan kesulitan orang lain disela-sela kesibukannya karena mereka peduli dan tidak sedikit pula orang-orang yang memilki waktu luang namun mereka tidak mau membantu orang lain karena pada dasarnya mereka tidak peduli tentang kesulitan orang lain. Ada yang berfikir bahwa bantuan harus dalam bentuk yang terlihat wujudnya, namun ada bantuan dengan sekedar menemani, mendengarkan, memberi semangat, bahkan menepuk atau mengelus pundak. Saya merasakan sulitnya menemukan bahkan menjadi orang yang bisa membantu orang lain tanpa tendensi apapun. Tentunya menjadi orang baik itu proses yang tidak singkat.  Ada yang pernah mengatakan "kondisi apapun share kabar kamu ya" nyatanya saat ngesaherpu

Menjalin Sebuah Hubungan

                                                   Sumber foto: magazine.job-like.com

Saat kita sebagai manusia membutuhkan orang dan bersosilisasi dengan kerabat atau teman sekolah atau teman kantor atau para pedagang langganan kita di pasar apakah harus selalu ada "motif" menjalin hubungan sosialisasi itu?

Misal, saat di tempat kerja atau sekolah saat kita punya teman haruskah ada alasan kita berteman dengan dia biar nanti ini dan itu?

Ya udah, kalau ingin temenan ya udah temenan aja, sapa aja, tidak perlu ada motif kerena dia siapa, punya apa, bisa bermanfaat untuk kita atau tidak. Udah temenan aja.

Lain hal untuk jadi karib ya, memang sudah selayaknya diseleksi siapa yang akan menjadi teman karib kita, karena kita kemungkinan besar akan menceritakan banyak hal-hal personal yang bersifat rahasia.

Saat kita berusaha membangun hubungan dengan orang lain  terkadang kita tidak serta merta akan menunjukan sifat asli kita pada saat itu juga.

Umunya manusia dengan kecenderungannya akan ramah dan sopan walaupun ada satu dua orang yang merasa lebih superior dari yang lain kemudian memandang rendah orang lain  yang memiliki status sosial dan ekonomi lebih rendah dari dia. 

Beberapa manusia tidak akan menunjukan semua sisi "wajah" nya sekaligus pada orang lain. Mungkin ada yang bilang menggunakan "topeng".

Bagi saya menggunakan "topeng" saat menjalin hubungan dengan orang-orang baru bukanlah sesuatu yang salah. "Topeng" digunakan untuk menyesuaikan diri, menyelami karkter orang-orang disekitar, dan penggunaan "topeng" ini lebih ke arah membaca situasi dilingkungan baru, ya  tidak masalah dan merupakan hal yang wajar bagi saya secara pribadi.

Lain halnya dengan sikap "MUNAFIK" ya.

Saat sudah menjadi akrab dengan orang kita akan cenderung mulai membuka sedikit demi sedikit "topeng" kita dan perlahan-lahan akan menunjukan sisi "wajah" kita yang lain. 

Nah tidak jarang dalam proses mulai membuka sedikit demi sedikit "topeng" ini dan tidak sedikit teman yang mulai akrab biasanya berkata "Gila, aku nggak yangka kamu ternyata begini ya orangnya"😊. That is the point, sisi "wajah" kita yang lain mulai kita tunjukan. 

Namun bagi saya ada  hal yang perlu ditekankan dalam menjalin hubungan "karib"adalah jangan meminta bahkan  memaksakan pada teman atau pasangan kita untuk menerima kita apa adanya. 

Lah kenapa? bukannya dalam sebuah hubungan kita harus menerima apa adanya?

Bagi saya secara pribadi yang harus diterima apa adanya tuh kondisi dia yang sudah bawaan lahir seperti fisik atau latar belakang keluarga, kalau sifat/karakter ya nggak bisa menerima apa adanya, harus ada saling pengertian dan saling memperbaiki jika ada yang keliru.

Ada beberapa orang yang menekankan bahwa dia sudah seperti itu, ya kalau  mau sohiban, terima dia apa adanya.

Tentunya beda negara, suku, agama, bisa membentuk kita memiliki karakter yang berbeda. Namun bukankah egois saat kita menjadi karib dengan orang lain kemudian kita meminta dia menerima kita apa adanya.

Misal teman kita tidak biasa mendengar suara yang nyaring dan kita kalau ngomong biasanya dengan suara tinggi kayak orang marah-marah, lah aneh rasanya kalau kita tetap memaksakan teman kita untuk menerima kita berbicara dengan suara keras terus menerus, bukankah seharusnya kita sebagai teman karib harus memahami dia dan saat berbicara dengan dia kita harus sedikit memelankan suara kita? 

Bagi saya untuk hal karakter kita tidak bisa menerima apa adanya, harus ada saling pengertian, kita seharusnya menghindari melakukan perbuatan yang membuat teman kita merasa kurang nyaman.

Namun, seakrab-akarabnya kita dalam sebuah hubungan kita tidak akan menunjukan semua sisi "wajah" kita, masih ada sisi yang kita tutupi dengan "topeng" dan sisi ini dipilih untuk tidak ditunjukan sebagai bentuk pengertian bukan kemunafikan.

This is my opinion if someone has a different opinion, that it's okay😉.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Notasi Imiah, Awalan SI, dan Konversi Satuan

Bukan soal kesibukan namun kepedulian

Belajar memahami