Bukan soal kesibukan namun kepedulian

"Thank God you sent this person into my life" Kalimat di atas nampak lebay namun benar adanya bahwa di luar sana ada orang-orang yang bersyukur dengan kehadiran kita dalam hidup mereka. Bukan soal waktu namun soal kepedulian. Tidak sedikit orang yang menyempatkan diri untuk membantu meringankan kesulitan orang lain disela-sela kesibukannya karena mereka peduli dan tidak sedikit pula orang-orang yang memilki waktu luang namun mereka tidak mau membantu orang lain karena pada dasarnya mereka tidak peduli tentang kesulitan orang lain. Ada yang berfikir bahwa bantuan harus dalam bentuk yang terlihat wujudnya, namun ada bantuan dengan sekedar menemani, mendengarkan, memberi semangat, bahkan menepuk atau mengelus pundak. Saya merasakan sulitnya menemukan bahkan menjadi orang yang bisa membantu orang lain tanpa tendensi apapun. Tentunya menjadi orang baik itu proses yang tidak singkat.  Ada yang pernah mengatakan "kondisi apapun share kabar kamu ya" nyatanya saat ngesaherpu

Hikmah dan resiko menjadi pendengar



Seiring bertambahnya usia dengan banyaknya peristiwa dan interaksi sosial yang bersifat sukarela maupun terpaksa membawa kita pada realita bahwa keadaan dan orang-orang yang kita temui tentu tidak semua sesuai ekspektasi kita.

Sejauh ini saya punya pengalaman interkasi dengan berbagai kalangan tentunya dengan latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan budaya yang berbeda dengan jenjang usia interkasi sosial yang saya jalani berada di rentan usia 14 tahun lebih muda dan 15 tahun lebih tua dari usia saya. Dari semua kisah baik dalam bentuk berbagi atau mendengarakan, tentunya sayapun banyak kekurangan dan mencoba sebijak mungkin mengambil pelajaran dalam setiap kisah hidup orang lain, bagaimana semestinya menyikapi, apa yang harus dan seharusnya tidak dilakukan jika saya berada pada kondisi yang sama suatu saat nanti.

Pertama kali saya mendengar kehidupan labaratorium kampus di luar Indonesia adalah dari Dosen saya yang merupakan lulusan universitas di Jepang, saat saya masih menempuh pendidikan S1. Siapa yang dapat menduga kehidupan lab. yang pernah dideskripsikan oleh dosen saya tersebut, akan saya alami sendiri sekitar 14 tahun kemudian. Jauh sebelum mengalaminya sendiri saya telah mendapat deskripsi dan saran yang baik tentang bersikap dan berinteraksi dengan Prof dan teman lab. yang berbeda agama dan budaya.

Pada saat Dosen-dosen saya menceritakan pengalaman studinya dan kehidupan meraka saya banyak belajar bahwa hidup ini tidak selalunya sesuai ekspektasi kita, banyak hal yang keluar dari prediksi. Salah satu dosen saya pernah berkata kurang lebih:

"Tidak usah pikirkkan apa yang di luar jangkauan kita, lakukan saja dengan benar apa yang kita jalani saat ini dan jangan lupa kembalikan kepada Allah" 

Sayapun juga mendengarkan banyak kisah secara langsung dari anak-anak broken home, anak-anak yang tidak bahagia dengan hidupnya, parrenting, masalah dengan orang tua, teman, guru, dan rekan kerja, diajak pacaran, putus cinta, kegagalan, pembulian, pelecehan, depresi, proses perkenalan hingga menikah, kehamilan, bahkan perselingkuhan, perceraian, proses menggapai mimpi, cita-cita baik, kisah-kisah konyol dan nyeleneh, dan masih banyak kisah lainnya yang menguras emosi.

Bahkan ada beberapa orang yang curhat dengan problem yang sama, namun karena beda orang dan situsi tentu saja akan berbeda sensasi dan infomarsi yang kita peroleh. 

Mungkin akan ada yang bertanya bagaimana kondisi orang-orang itu saat ini? beberapa orang membuat pilihan dengan mendengarkan saran2 bebagai pihak dan mereka melakukannya dengan sabar, atas izin Allah mereka telah berhasil keluar dari problem yang mereka alami saat itu dan ada beberapa orang yang sulit membuat pilihan bahkan mengalami kejadian berulang-ulang berharap orang lain yang akan berubah.

Tentunya tidak semua kisah yang saya dengar pernah saya alami sendiri, namun dari banyak kisah-kisah yang saya dengar memberi gambaran dan ada pelajaran yang saya peroleh. 

Matematika kehidupan tidaklah sama dengan perhitungan yang kita pelajari dibangku sekolahan bahwa 1+1=2 sering kalanya 1+1=0 atau 1+1= 1000 atau 1+1=1. 

Kita berbuat baik kepada orang lain, orang lain belum tentu baik kepada kita. Kita jujur, orang lain belum tentu jujur. Kita tulus, orang lain belum tentu tulus. Lalu apakah saat kita mendapatkan perilaku sabaliknya dari orang lain lantas membuat kita menjadi orang jahat? kan nyatanya tidak juga. 

Kita berbuat baik, jujur, sabar, dan sebagainya bukan karena mengharap orang lain berprilaku sama kepada kita, namun lebih menjaga diri dari sikap lemah hati. 

Hanya saja kita perlu menarik diri dari orang-orang yang tidak tau membalas dan menyikapi sebuah kebaikan, kejujuran, dan ketulusan, bukan karena kita berharap balasan setimpal bahkan lebih dari apa yang kita lakukan namun lebih kepada melingkupi diri dalam lingkungan orang-orang berenergi positif.

Masih terus belajar menjadi pendengar yang tulus dan tau moment kapan orang lain mau mendegarkan celotehan kita.

Menjadi seorang pendengar tentu bukan tanpa resiko, salah satu resiko terberatnya adalah tidak amanah dalam menjaga cerita yang bersifat rahasia. Saya berusaha semaksimal mungkin menjaga curhatan setiap orang yang dengan tulus bercerita, namun dengan keterbatasan dan hawa nafsu yang tidak bisa terkontrol, jika ada khilaf saya dengan menceritakan kisah yang tidak boleh diceritakan kepada orang lain dan saya salah dengan tidak memfilter nama mohon keridhoannya untuk memaafkan saya. 
_____________________________________________________________________

"Jauh dimasa lalu saya sempat berfikir bahwa saya berjuang dan bertahan untuk orang-orang terkasih disekitar saya, nyatanya saya keliru, seharusnya saya berjuang, bertahan, dan bahagia untuk diri saya terlebih dahulu"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Notasi Imiah, Awalan SI, dan Konversi Satuan

Bukan soal kesibukan namun kepedulian

Belajar memahami